
Beberapa waktu lalu, seorang kawan mengirim link tiktok yang ketika dibuka berisi kehidupan anak skena Jakarta. Kebetulan, saat itu, saya berada di sebuah tempat di Surabaya.
Seperti di Jakarta, di Surabaya kita akan melihat sekelompok anak muda nongkrong di mall dan kafe-kafe hits di Surabaya. Mereka tidak merokok, tidak juga mendengarkan musik. Tapi semua memakai gamis, sebagian bercelana cingkrang, dan yang perempuan mengenakan cadar warna hitam pekat. Di atas meja ada kopi, kitab tipis, dan handphone yang memutar nasheed.
Kalau ini terjadi 10 tahun lalu, mungkin akan kita anggap aneh. Tapi kini? Sangat lumrah. Bahkan, mereka menyebut dirinya sebagai bagian dari “Skena Salafi.”
Ya, benar. Skena. Istilah yang biasa dipakai anak-anak musik indie kini bersanding dengan “Salafi”, paham keislaman yang bercita-cita kembali ke ajaran murni generasi salaf. Hasilnya adalah gaya hidup keislaman yang unik: syar’i tapi stylish, ketat tapi cair, Arab tapi tetap ngopi di kedai kopi kekinian. Bukan di puncak Bogor.
Dari Masjid ke Mall, dari Surban ke Tote Bag
Di masa kecil, kita masih menyaksikan bahwa kesalehan ditunjukkan lewat sarung, surban, baju koko, atau jidat yang menghitam seperti tahi dua tahi lalat. Dulu, di masa itu, kajian agama berlangsung di musala, pesantren, atau rumah tetangga.
Kini, semua itu bermigrasi ke ruang-ruang publik yang lebih Instagramable. Kajian diselenggarakan di hotel bintang lima, di mall, bahkan di co-working space yang mahalnya bikin meringis.
Dan ya, kajian itu tidak gratis. Ada harga yang harus dibayar—bukan hanya uang, tapi juga komitmen gaya hidup.
Skena Salafi bukan sekadar kumpulan orang ngaji. Mereka adalah komunitas. Ada logika kolektif yang terbangun: busana syar’i, bahasa Arab berlogat lokal, dakwah digital, dan jaringan ustaz yang bisa menembus sampai Timur Tengah. Bahkan kini, mereka punya brand sendiri—kopi hijrah, fashion gamis, homeschooling tauhid, hingga travel umrah milenial.
Style mereka bukan sekadar simbol. Ia adalah sistem. Mereka membentuk disiplin tubuh, mengatur ruang sosial, dan menciptakan batas jelas antara “kita” dan “mereka”.
Membayangkan Talal Asad Ngaji Bersama Skena Salafi
Saya masih membayangkan Talal Asad—antropolog agama asal Inggris itu—ikut nongkrong di kafe tempat anak-anak Skena Salafi ngaji, barangkali dia akan senyum-senyum sendiri. Bagi Asad (1986, 1993), agama tidak pernah hadir sendirian. Ia datang bersama otoritas, tafsir, struktur kekuasaan, dan tentu saja… estetika.
Skena Salafi adalah bentuk dari apa yang oleh Asad disebut sebagai discursive tradition—praktik keagamaan yang hidup dalam ruang sosial, dan tidak bisa dilepaskan dari relasi kekuasaan. Jadi, ini bukan hanya soal mana dalil yang sahih, tapi juga siapa yang dianggap sah untuk menafsirkan.
Dalam hal ini, Skena Salafi berhasil menciptakan formasi sosial baru: ada otoritas ustaz seleb, ada konsumsi Islami, ada kapital kultural, dan tentu saja, ada logika hijrah yang diproduksi secara massal.
Fenomena ini tumbuh bersama tiga hal: semangat hijrah, kampanye produk halal, dan ekonomi komunitas berbasis syariah. Semua saling menopang.
Yang pertama, hijrah bukan hanya tentang meninggalkan musik atau pacaran. Tapi juga meninggalkan cara beragama orang tua. Islam versi tradisional dianggap penuh bid’ah, penuh ritual yang tak berdalil. Yang kedua, mereka aktif mengampanyekan gaya hidup Islami: dari minyak zaitun, busana syar’i, kosmetik halal, sampai pembelajaran daring ala tauhid. Dan ketiga, mereka membentuk usaha-usaha komunitas—sekaligus memperkuat jejaring dakwah.
Hasilnya? Islam yang tampil kekinian. Bukan lewat kitab tebal atau khutbah panjang, tapi lewat filter Instagram, feed estetik, dan komunitas yang kuat.
Dari Kota ke Desa, dari Elite ke Akar Rumput
Jangan kira fenomena ini cuma urban. Anak-anak muda di desa juga mulai ikut arus. Di bawah kaki gunung dan di pinggiran pesisir, sambil menggembala kambing, ada anak muda yang mulai bercelana cingkrang, menyetel ceramah sambil memposting status “sedang hijrah”.
Apa yang dulunya menjadi khas kota, kini menular ke desa. Dan apa yang dulunya eksklusif, kini mulai menjadi mainstream.
Tapi tentu saja, semua ini bukan tanpa kritik. Ketika semangat hijrah terlalu diglorifikasi, ketika dalil menjadi alat menghakimi, dan ketika Islam dikurung dalam satu “style” tertentu, di situlah ruang dialog menjadi sempit.
Dalam kacamata Asad, Skena Salafi bukan musuh. Mereka adalah bagian dari dinamika umat Islam hari ini. Mereka menjalankan proyek politik agama tanpa partai. Tapi seperti gaya hidup manapun, ia butuh refleksi. Apakah ini akan terus berkembang sebagai ruang pencarian makna? Atau justru berubah menjadi doktrin sosial baru yang rigid?
Talal Asad mengingatkan kita: agama bukan hanya teks. Ia adalah relasi. Ia adalah proyek sosial. Maka kita bisa memahami Skena Salafi sebagai bagian dari itu: sebuah eksperimen, sebuah respons terhadap dunia yang serba cepat, serba konsumtif, dan seringkali membingungkan.
Dalam Skena Salafi, anak muda mencari kepastian. Tugas kita adalah memastikan bahwa dalam pencarian itu, mereka tetap menemukan kelapangan—bukan sekadar dalil, tapi juga kasih sayang, kebijaksanaan, dan ruang dialog.