Mengobrak-abrik Warung saat Puasa: Religius Tapi Perilaku Preman Buat Apa?

Mengobrak-abrik Warung saat Puasa: Religius Tapi Perilaku Preman Buat Apa?

Mengobrak-abrik Warung saat Puasa: Religius Tapi Perilaku Preman Buat Apa?

Beredar video sekelompok massa mengobrak-abrik warung yang buka siang hari saat Ramadan. Setelah ditelusuri, kejadiannya berlangsung di Kabupaten Garut pada Rabu 5 Maret 2025.

Dalam video tersebut terlihat beberapa orang yang tengah duduk santai sembari merokok dan minum kopi di warung. Sempat ada perbincangan di antara massa yang datang dengan para pria yang berada di warung.

“Nu saha iyeu? Eta kopi nu saha? Naha teu puasa? Muslim lain? (Punya siapa ini, ini kopi punya siapa, kenapa tidak puasa, Muslim bukan?)” tanya seorang dari massa.

Namun tak lama kemudian, pria dengan baju dan kacamata hitam itu kemudian menyiramkan segelas kopi ke pinggir orang yang diajaknya berbicara. Dia kemudian berlalu menemui pemilik warung dengan bersuara keras: “Ibu, tau ada maklumat Ramadan,” kata pria tersebut (detik/08/3/2025).

Di posisi lainnya, seorang pria berambut panjang tampak mendatangi kelompok pengunjung warung yang lain. Dia datang dan berbicara dengan suara lantang dan menggebrak meja. Di akhir video, sempat terjadi ketegangan antara seorang pembeli dengan tiga orang dari kelompok yang mendatanginya.

Dari razia tersebut terjadi pro dan kontra di masyarakat. Ada sebagian setuju tetapi lebih dominan masyarakat menyayangkan pada aksi tersebut. Kubu yang kontra mengatakan: “Ngasih tau boleh tapi ga usah kasar gitu, klo yg g puasanya kasar mah gpp dikasarin (itu yg mrah2 puasanya udh batal alias MAKRUH,” ucap akun @mri******* (detik/08/3/2025).

Adanya maklumat atau tiadanya maklumat dan kemudian mengobrak-abrik warung oleh sebagian orang merupakan kegagalan dalam pengertian berpuasa yang sesungguhnya. Berpuasa merupakan pelajaran menahan lapar, nasfu, dan amarah. Bahkan agama juga tidak memaksa orang dalam pengertian luas. Namun orang yang memerkan makan secara disengaja adalah sebuah kesalahan dan nir-etika.

Esensi puasa mengerti batas

Cak Nun dalam kesempatan pernah menyinggung kasus seperti di atas. Cak Nun mengatakan: “Kita berpuasa untuk menghormati orang lain. Bukan untuk dihormati orang lain. Bulan puasa kok hormatilah orang yang berpuasa. Gunanya orang puasa agar kamu belajar menghormati orang. Bukan minta dihormati orang. Hanya orang yang tidak terhormat yang minta dihormati orang lain.”

Esensi berpuasa menurut Cak Nun adalah latihan. Latihan bersabar dan memahami keadaan. Puasa Ramadan dipahami sebagai jam pelatihan, jam training, dan jam pendidikan. Sedangkan praktik puasa yang sebenarnya adalah pada di/ke/seluruh kehidupan dalam segala bidang tanpa menunggu bulan Ramadan.

Bagi Cak Nun, berpuasa proses penyadaran diri, latihan spiritual, dan bentuk laku sosial yang mendalam. Dengan berpuasa, seseorang belajar mengendalikan dirinya agar mencapai keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan spiritual.

Contohnya, puasa dalam berbicara agar tidak menyakiti orang lain, puasa dalam menggunakan media sosial agar tidak menyebarkan kebencian, puasa agar tidak menzalimi orang lain.

Dalam konteks yang lebih luas, ia mengajarkan bahwa puasa bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk memahami penderitaan orang lain.

Dengan berpuasa merasakan lapar, seseorang diharapkan lebih peka terhadap kesenjangan sosial dan lebih terdorong untuk berbagi kepada orang lain. Ini esensi berpuasa.

Bagi Cak Nun puasa adalah cara untuk membentuk manusia yang lebih baik, bukan sekadar rutinitas tahunan tanpa makna yang mendalam.

Cak Nun berkata: “Oleh sebab itu alangkah indah sekali kalau sejak kecil anak-anak tidak hanya dibiasakan untuk berpuasa dalam arti tidak makan minum ketika siang hari, dicicil sedikit demi sedikit sehingga anak-anak memahami bahwa puasa itu prinsip hidup sehari-hari.”

Karena itu, puasa melatih kita untuk menahan dan mengendalikan keinginan. Puasa mengajarkan batasan dan limitasi dalam hidup.

Cak Nun melihat cultural anthropology manusia kita memang memiliki sifat yang tidak pernah puas dan tidak mengerti batas. Sehingga puasa diberikan Allah untuk kita agar bisa mengendalikan sifat tidak puas itu.

Dalam hal puasa dan razia warung, umat Islam memang perlu mengenali batasnya. Makan dan minum itu adalah hal yang baik, tapi harus sewajarnya.

Mencari uang dan ibadah juga sama baiknya, tetapi juga ada limitasi. Tidak harus dilakukan terus menerus tetapi harus ada aturan dan jedanya.

Karena itu, perilaku biadab dalam puasa perlu kita hindari.

Percuma kita dikenal sebagai bangsa religius tetapi tingkat kriminal dan premanisme agamanya tinggi. Religius tapi berperilaku preman, buat apa?