Ziarah Saja Tak Cukup, Penting untuk Meneladani Ulama dari Ilmunya

Ziarah Saja Tak Cukup, Penting untuk Meneladani Ulama dari Ilmunya

Ziarah Saja Tak Cukup, Penting untuk Meneladani Ulama dari Ilmunya
Makam Syekh Arsyad al-Banjari dikunjungi banyak peziarah (gambar: www.wisatakalimantan.com)

Salah satu kebiasaan religius umat Islam, terutama di Indonesia, adalah ziarah ke makam para ulama. Makam-makam Syekh Nawawi al-Bantani, Sunan Bonang, dan Syekh Abdul Qadir Jaelani (dengan haul dan pembacaan manaqib) sering diziarahi oleh ribuan orang setiap tahunnya. Mereka datang dengan harapan bertabaruk, menyambung hati dengan sang wali, dan bahkan berharap keberkahan dan kemudahan dalam hidup, seperti berharap dilancarkan rezeki, dilariskan dagangannya, naik pangkat karirnya, atau dipermudah jodohnya .Namun, orang sering lupa bahwa ilmu yang mereka tinggalkan bukanlah harta karun paling berharga dari para ulama.

Tradisi ziarah yang kuat akan semangat spiritualitas terkadang menggeser perjuangan utama para ulama yaitu literasi keulmuan islam. Kitab ulama dalam bidang tafsir, akidah, tasawuf, fikih, dan akhlak sangat jarang dikaji dan dipelajari. Ironisnya, makam mereka didatangi banyak orang, tapi pemikiran mereka terabaikan. Banyak orang melakukan ibadah seperti tahlilan, yasinan, atau bahkan ziarah tanpa memahami dasar ilmunya. Ini berbahaya karena menjadikan agama hanya sebagai tradisi, bukan hasil pemahaman kritis.

Padahal, ulama adalah pewaris para nabi bukan dalam kekayaan atau karomah, akan tetapi ilmu yang dapat menyelamatkan umat. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya, sungguh ia telah mengambil bagian yang banyak” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Hadis ini memberikan dasar yang jelas untuk gagasan bahwa ilmu yang membimbing umat adalah warisan utama kenabian dan diwariskan kepada para ulama.

Ziarah jelas bukan tindakan yang sia-sia. Ia merupakan perbuatan yang dianjurkan karena untuk mengingat kematian, terlebih lagi ziarah ke makam ulama dan orang Sholeh, bahkan menurut Imam Al Qurthubi hal tersebut disunnahkan(At-Tadzkirah fī Ahwāl al-Mawtá wa Umūr al-Ākhirah, jilid 1, Hal 230-240). Namun jika ziarah berhenti sebagai ritual tanpa menumbuhkan kecintaan pada ilmu. Maka ia akan berubah menjadi ritual simbolik daripada bentuk pengabdian tulus kepada ulama.

Semestinya, umat datang datang ke makam ulama dengan keinginan untuk meneladani keilmuannya. Kita harus mulai berziarah dengan membawa buku, bukan hanya bunga, sebagai tanda bahwa kita ingin mengikuti perjuangan mereka dengan ilmu. Membaca kembali kitab-kitab mereka, seperti Al-Fath ar-Rabbani wa al-Faydh ar-Rahmani karya Syekh Abdul Qadir Al Jaelani, Tafsir Al Munir karya Syekh Nawawi Al Bantani, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim karya Hadratusy Syekh KH. Hasyim Asy’ari adalah bentuk nyata dari mencintai ulama.

Menghidupkan Kembali literasi islam bukan hanya sekedar mendatangi makam adalah cara tertinggi untuk memuliakan ulama. Karena hanya dengan merawat dan menghidupkan pengetahuan merekalah kita dapat memastikan bahwa warisan itu akan tetap terjaga dan menuntun umat di Tengah kegelapan zaman.

(AN)